Di sebuah lereng bukit yang gersang nampak sosok laki-laki tua yang sibuk membelah batang-batang kayu dengan kampaknya, ratusan papan kayu yang dikumpulkan itu dirakitnya dengan penuh ketekunan dan kesabaran. Semula orang bingung melihatnya, namun pada akhirnya mereka tahu bahwa orang tua itu sedang membuat sebuah perahu besar. Dialah Nuh, seorang utusan Alloh. Dia membuat perahu atas dasar wahyu dari Alloh.
Kisah ini berawal dari lima orang sholeh yang hidup di zaman sebelum lahirnya kaum Nabi Nuh. Nama-nama mereka adalah Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr. Setelah kelimanya meninggal, orang-orang membuat patung-patung mereka dengan tujuan untuk menghormati dan mengenang budi baik mereka. Setelah patung-patung itu diwariskan turun temurun kepada anak cucu mereka hingga sampai pada zaman Nabi Nuh, timbullah berbagai dongeng dan khurofat yang mempengaruhi pemahaman dan keyakinan manusia, mereka menganggap patung-patung itu mempunyai kekuatan gaib. Iblis telah membisiki kaum nabi Nuh bahwa berhala-berhala tersebut adalah tuhan yang dapat mendatangkan manfaat dan menolak bahaya. Patung-patung itupun disembah.
Alloh mengutus Nabi Nuh untuk memberantas segala bentuk kemusyrikan di jaman itu. Dengan seluruh kemampuannya ia berusaha menyadarkan kaumnya untuk kembali menyembah kepada Alloh. Ia menyerukan, “Wahai kaumku, Aku adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kalian. Janganlah menyembah selain Alloh, takutlah padaNya dan taatlah padaku. Alloh akan mengampuni dosa-dosa kalian. Jika tidak, kalian akan mendapat siksa yang pedih.”
Demi mendengar dakwah Nabi Nuh, satu persatu mereka insaf dan menjadi pengikutnya. Namun kebanyakan mereka tergolong dari kaum lemah, fakir dan orang-orang yang menderita. Sedangkan golongan orang-orang kaya, kuat dan para penguasa meragukan dakwanya. Mereka pun tidak segan-segan menantangnya.
“Wahai Nuh, Bukankah kau juga manusia biasa seperti kami, dan pengikut-pengikutmu adalah orang-orang yang hina, orang-orang bodoh yang lekas percaya saja. Tidak ada kelebihan apa-apa yang kau miliki dibanding kami, mengapa kau mengaku menjadi utusan Alloh?”
“Kaumku, aku memanng tidak pernah mengatakan bahwa aku mempunyai kekayaan yang berlimpah, aku tidak pernah pula mengatakan bahwa aku mengetahui hal yang gaib. Aku bukan malaikat melainkan manusia biasa seperti kalian yang diutus oleh Alloh untuk menyadarkan kalian dari kemusyrikan yang telah membelenggu hati kalian. Dan aku tidak akan meminta upah sedikitpun pada kalian bagi seruanku, karena upahku hanyalah dari Alloh. Orang-orang yang kalian pandang dengan sebelah mata, kalian anggap bodoh, hina, lemah, pahala mereka tidak akan hilang karena penghinaan kalian. Alloh lebih tau terhadap apa yang ada dalam hati mereka.”
“Nuh! Hentikan ocehanmu! Sekarang tidak perlu banyak bicara, coba datangkan siksa yang kau janjikan itu jika kau memang benar!”
"Ooh? Hanya Allah yang bisa mendatangkan siksa itu, tetapi ingat, kalau Allah sudah mendatangkan siksanya, tidak ada satupun di antara kalian yang dapat menghindar, kalian semua akan binasa!”
Perdebatannya dengan orang kafir semakin panjang, argumen-argumen merekapun bisa dipatahkan. Karena kesalnya, mereka mulai berani mengejek Nabi Allah,”Nuh! Kaulah yang tersesat diantara kami. Kau pendusta! Dan kau telah gila!”
“Wahai kaumku, tidak ada padaku kesesatan sedikitpun tetapi aku adalah utusan dari tuhan semesta alam. Aku sampaikan amanat-amanat tuhanku dan aku memberi nasehat kepada kalian. Aku mengetahui dari Allah apa-apa yang tidak kalian ketahui."
Selama 950 tahun, Nabi Nuh terus berdakwah. Setiap kali mengajak kaumnya untuk menyembah kepada Alloh, mereka lari, ada pula menutupi telinga begitu mendengar dakwahnya. Jumlah pengikut Nabi Nuh tidak bertambah, sedangkan jumlah orang kafir semakin banyak. Nabi Nuh sangat sedih namun ia tidak putus asa untuk mengajak kaumnya kembali menyembah kepada Allah. Hingga suatu ketika Nabi Nuh mengadukan kesedihannya kepada Allah. Allah mengerti perasaan Nabi Nuh, ia telah berjuang selama 950 tahun untuk berdakwah. Kini, tibalah saatnya Allah mendatangkan perkaranya untuk menolong orang-orang yang beriman dan membinasakan orang kafir. Nabi Nuh pun berdoa kepada Allah.
“Ya Allah, jangan Engkau biarkan seorangpun diantara orang kafir itu tinggal di atas bumi. Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hambaMu. Dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat maksiat dan kafir.“
Doa Nabi Nuh dikabulkan oleh Allah, diperintahkan kepada Nabi Nuh supaya membuat perahu dengan pengawasan dan wahyu dari Allah.
Tanpa mengenal lelah Nabi Nuh bekerja siang malam membangun perahu, sementara cuaca atau udara saat itu sangat kering dan tidak ada sungai atau laut yang dekat, sehingga hal ini membuat setiap orang yang melihat pekerjaan Nabi Nuh terheran-heran. Lebih-lebih kaum kafir beserta pembesar mereka.Tiada kata yang terucap dari mulut mereka selain celaan dan hinaan. Lebih menyedihkan lagi istri Nabi nuh juga termasuk golongan mereka.
“Bagaimana perahu ini bisa berlayar, Nuh?”
“Apakah dia akan berlayar diatas tanah?”
“Hahaha….sungguh Nuh telah gila!”
Dengan sabar Nabi Nuh menjawab ejekan mereka, ”Jika kalian mengejek kami, Kami pun akan mengejek kalian sebagaimana kalian telah mengejek kami. Kelak kalian akan mengetahui siapa yang akan ditimpa siksa yang kekal dan menghinakan.”
Setelah 40 tahun, selesailah perahu yang dibuat Nabi Nuh. Panjangnya 300 hasta (+600 meter), tinggi 30 hasta (+ 60 meter) dan seluruh bagian perahu tersidi dari 313 lembar papan kayu. Perahu itu mempunyai tiga dek untuk para penumpangnya. Dek paling bawah untuk mengangkut segala jenis binatang, dek tengah untuk orang-orang iman dan dek ketiga untuk mengangkut segala jenis burung. Kini Nabi Nuh tinggal menunggu perintah dari Alloh selanjutnya. Alloh mewahyukan bahwa jika tannur (dapur-dapur untuk manggang roti) sudah memancarkan air, maka itu nerupakan perintah bagi Nabi Nuh untuk segera bertindak.
Beberapa hari kemudian tannur itu mulai menunjukkan tanda-tandanya, air terpancar dengan deras. Nabi Nuh segera membuka pintu perahunya dan mengajak orang-orang iman untuk menaikinya.
“Naiklah kalian ke dalam perahu dengan menyebut nama Alloh diwaktu berlayar dan berlabuhnya.”
Orang-orang iman segera menaiki perahu, tidak ketinggalan pula burung-burung dan binatang-binatang berpasangan. Kekuatan Alloh telah menggiring burung-burung dan binatang-binatang berbondong-bondong menuju perahu Nabi Nuh dan menempati tempat mereka masing-masing. Sementara sebagian besar kaum yang kafir termasuk istri Nabi Nuh dengan sombong menolak menaiki perahu tersebut, sehingga kaumnya yang beriman dan ikut serta dalam perahu itu hanya berjumlah delapan puluh orang.
Air mulai keluar dengan deras dari celah-celah bumi. Mula-mula hanya sebatas telapak kaki. Keadaan ini tidak menyadarkan kaum kafir, mereka malah sibuk menyelamatkan hartanya masing-masing. Nabi Nuh menutup perahunya. Sementara dari langit turun hujan yang sangat deras yang belum pernah terjadi sebelumnya di muka bumi ini. Nabi Nuh bersama orang-orang iman didalam perahu hanya bisa pasrah kepada Alloh menunggu detik-detik tenggelamnya bumi. Orang-orang kafir mulai kelabakan mencari tempat perlindungan dari air bah, sebagian tewas terseret arus. Atap-atap rumah tidak dapat lagi dijadikan tempat berlindung karena permukaan air semakin tinggi, bahkan pucuk-pucuk daun di pohon yang tinggi mulai terjilat air.
Saat perahu mulai berlayar, nampak Kan’an, anak Nabi Nuh, berenang menuju puncak sebuah gunung yang belum terjamah air. Naluri kasih sayang seorang ayah membuat Nabi Nuh berusaha keras membujuk dan merayu anaknya agar mau naik perahu bersamanya.
“Kan’an anakku! Naiklah ke perahu bersama kami! Janganlah kau mati bersama-sama orang yang kafir!”
“Tidak Ayah! Aku akan selamat berada di puncak gunung itu”
“Kan’aaan….dengarkan Ayah! Tak ada satu pun yang dapat melindungimu dari keadaan ini selain Alloh”
Belum selesai pembicaraan antara ayah dan anaknya, tiba-tiba datang gelombang besar yang menjadi penghalang antara keduanya. Kan’an hilang dari pandangan Nabi Nuh. Nabi Nuh berusaha mencari namun ia tidak menemukan selain ombak yang semakin tinggi. Nabi Nuh sedih, ia telah kehilangan anak yang dicintainya. Seluruh permukaan bumi telah tenggelam. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 10 Rajab.
Perahu mengapung diatas permukaan air yang tak kunjung surut. Hingga akhirnya pada tanggal 10 Muharrom datanglah perintah Alloh.
“Hai, bumi telanlah airmu dan hai hujan dari langit berhentilah…”
Perintah Alloh itu telah mengakhiri petualangan Nabi Nuh bersama pengikutnya yang telah terapung-apung di dalam perahu selama enam bulan. Lenyaplah peristiwa yang mengerikan itu seiring dengan menyurutnya air ke celah-celah bumi. Hati Nabi Nuh masih gulau akan kematian anaknya, Kan’an, ia bertanya-tanya kenapa Alloh tidak menyelamatkan anaknya. Ia tidak tahu bahwa Kan’an menyembunyikan kekafirannya di hadapan Nabi Nuh. Hingga terucap, “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya."
Alloh pun menjelaskan kepada Nabi Nuh, “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk kelauargamu yang dijanjikan akan diselamatkan. Sesungguhnya perbuatannya tidak baik. Sebab itu, janganlah kamu memohon kepadaKu sesuatu yang kamu tidak mengetahui hakekatnya. Aku peringatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.”
Nabi Nuh tersadar dan memohon ampun kepada Alloh atas kekhilafannya. Sementara perahu terdampar di daratan Armenia, seluruh penumpang turun dan memanjatkan sukur kepada Alloh yang telah menyelamatkan jiwa dan keimanan mereka.
Sumber
Post a Comment